Senin lalu, 01 Februari 2021, lepas tengah hari, saat orang-orang bergegas pulang dari aktivitas kerja, tepatnya pukul 16.00 Wita, Komunitas Guru Belajar Nusantara Makassar kembali menggelar Temu Pendidik Daerah di awal tahun dengan topik Asesmen Nasional sebagai Pemetaan Pendidikan. Apa yang Harus Dilakukan Sekolah, Guru, dan Murid?

Topik ini sedang hangat-hangatnya jadi buah bibir dan akan digadang-gadang sebagai tema besar Temu Pendidik Nusantara VIII nantinya. Lewat kanal Youtube KGB Makassar, Pak Ari Wibowo, Pelatih Kampus Guru Cikal, sebagai pembicara, praktis dengan tegas dan terukur memulai webinar dengan pernyataan penolakan Ujian Nasional yang dulu telah lama dicetuskan oleh Menteri Pendidikan Nasional era Kabinet Indonesia Bersatu, Bambang Sudibyo,sejak tahun 2005.
“Ujian Nasional sudah tidak relevan menjadi alat ukur dalam menentukan kompetensi murid.” terang Pak Ari.
Sederet Menteri pun ikut menggaungkan wacana tersebut. Mulai dari M. Nuh, Anies Baswedan, dan Muhadjir Effendy. Bahkan, saya dulu menganggap bahwa penghapusan Ujian Nasional merupakan hal utopis.
Tapi siapa sangka, di bawah Nadiem Makarim, hal itu terwujud. Kegaduhan terjadi dibanyak tempat. Sekolah dan guru akhir-akhir ini sibuk tak karuan setelah Menteri Pendidikan dan Kebudayaan mengeluarkan kebijakan yang tak terduga: Menghapus Ujian Nasional dan menghadrikan Asesmen Nasional yang meliputi, Asesmen Kompetensi Minimum, Survei Karakter, dan Survei Lingkungan Belajar.

Di tengah jalannya webinar, salah satu peserta, Emi Hardyanti, tiba-tiba mencurahkan kegelisahannya di kolom live chat, “Bagaimana, Pak? Di luar sana banyak agen yang menawarkan buku latihan untuk Asesmen Nasional, nyaris dipahami bahwa Asesmen Nasional merupakan pengganti Ujian Nasional.”
Lalu disusul juga oleh Ibu Permata Hati, seperti namanya, komentarnya di kolom live chat ia sampaikan dengan penuh emosional, “Sekarang banyak pelatihan pembuatan soal Asesmen Kompetensi Minimum, bahkan buku pembahasannya juga ada. Apakah ini tidak berdampak pada persaingan nilai? Jadinya, tujuan Asesmen Kompetensi Minimum malah tersamarkan.”
Dua celetukan dari peserta webinar membuat pembicara dan pemandu, Pak Multazam, Guru MTsN 2 Maluku Tenggara yang baru saja hijrah dari Makassar, menahan tawa dengan sedikit rasa heran. “Iya, Bu. Masih ada oknum-oknum yang memanfaatkan momen-momen seperti ini,” kata Pak Ari.
Kedua komentar dari peserta menggambarkan bahwa selama ini tercipta miskonsepsi. Apa yang diresahkan oleh peserta Temu Pendidik Daerah, mungkin itu juga yang dirasakan sebagian teman-teman guru yang lain. Jadinya, guru kembali lagi terjebak pada konsep yang lama dan menyamarkan tujuan cita-cita Asesmen Nasional.
Pembicara lanjut menyampaikan materinya, ia mengutip pernyataan dari Mas Bukik Setiawan, “Ada perbedaan yang nyata pada konsep baru, tapi tidak akan bermakna bila pemahaman lama yang digunakan untuk memahami konsep baru.”
Pada Temu Pendidik Daerah kali ini, pembicara berusaha mendobrak gap tersebut. Ia menerangkan tiga dasar tujuan Asesmen Nasional. Pertama, ingin melihat kualitas pembelajaran di sekolah. Kedua, mendapatkan umpan balik peningkatan kualitas pembelajaran di sekolah. Ketiga, menjadi dasar untuk penyusunan program-program dalam meningkatkan proses pembelajaran di sekolah.
“Pak, kenapa siswa yang menjadi target Asesmen Kompetensi Minimum hanya diperuntukkan bagi siswa yang berada di kelas 5, 8, dan 11?” tanya peserta lagi.
Pertanyaan dari peserta langsung direspon oleh pembicara dengan menampilkan tabel perbandingan Asesmen Nasional dan Ujian Nasional. Tabel itu menggambarkan tujuh perbedaan dari masing-masing program.
Lanjut, pembicara mulai menjelaskan tiap-tiap perbandingan. Ia menegaskan sekali lagi bahwa dalam Asesmen Kompetensi Minimum, tujuannya bukan untuk menilai hasil akhir, tapi keinginan perbaikan yang diharapkan oleh pemangku kebijakan. Dengan menjadikan siswa kelas 5, 8, dan 11 sebagai sasaran, tujuannya tentu agar tahun depan siswa yang sudah naik tingkat ke kelas 6, 9, dan 12 ikut merasakan perubahan iklim yang berada di sekolah.
Jika Ujian Nasional mendapat bobot butir soal yang sama untuk mengukur kompetensi, Asesmen Kompetensi Minimum malah bersifat adaptif yang menekankan pada kompetensi Literasi dan Numerasi. Semuanya ini, bertolak pada hasil PISA beberapa tahun belakangan ini.

Bahkan, sasaran juga tidak hanya ditujukan kepada siswa, melainkan guru dan kepala sekolah dalam ranah survei karakter yang termaktub dalam profil pelajar Pancasila dan survei lingkungan belajar untuk melihat kualitas proses belajar mengajar di sekolah.
Baca Juga: Jurus Jitu Lulus Asesmen Nasional
Jadi sudah menjadi barang yang jelas, bahwa Asesmen Nasional tidak berpacu pada target seberapa banyak siswa yang berhasil lulus, tetapi berpacu pada target capaian sekolah tahun tahun sebelumnya agar tercipta peradaban dalam lingkungan sekolah.
Untuk mencapai itu, pembicara memaparkan lima strategi yang harus dilakukan sekolah, terlebih pemimpin sekolah dalam hal ini kepala sekolah. Langkah pertama, kepala sekolah tidak mengambil jalan pintas, misalnya menghimbau guru dan siswa untuk melakukan latihan pengerjaan soal, tapi melihat kesemua sisi.
Kedua, kepala sekolah harus memprioritaskan waktu dan energi lebih banyak untuk memandu perencanaan, pendampingan, dan refleksi proses pembelajaran dan melibatkan seluruh elemen, termasuk orang tua murid. Ketiga, melakukan pembelajaran yang kolaboratif. Maksudnya, kepala sekolah memastikan semua mata pelajaran harus terintegrasi pada kompetensi literasi, numerasi dan karakter.
Keempat, mengembangkan kebiasaan berbagi praktik baik di lingkungan sekolah sebagai wadah bertukar pikiran, karena belajar yang nyata itu ialah belajar dengan sesama rekan seperjuangan. Terakhir, hapus program-program yang sudah tidak relevan, apalagi memakan anggaran yang cukup banyak dan segera memulai menyusun program-program jangka panjang yang lebih relevan.

Nah, pilihan itu bergantung pada kita semua. Saya harap, setelah ini, ajaklah murid belajar untuk hidup, bukan sekadar belajar untuk ujian. Sebab kata Einstein, “Seni tertinggi guru adalah membangun kegembiraan dalam ekspresi kreatif dan pengetahuan.”